KETIKA ARKOUN BERBICARA TENTANG MODERNITAS

Karya produktif manusia selalu mengalami perubahan setiap zamannya. Ketika generasi terdahulu kita berhadapan dengan zaman pra sejarah, banyak peninggalan-peninggalan pra sejarah yang pada masa kini kita mengaanggap sebagai suatu hal yang sepele. Sebut saja alat pemotong daging hewan mangsaan yang pada awalnya adalah batu lonjong, kemudian berangsur-angsur berubah sedikit demi sedikit menjadi batuan lancip hingga pada akhirnya kita menemukan alat pemotong pisau.

Tak bisa dipungkiri, hal seperti ini selain sering terjadi pada produk karya manusia, ternyata juga menyentuh ranah pemikiran filsafat dan berbagai objek ilmu pengetahuan. Ketika para terdahulu kita mempercayakan warisan berbagai macam peninggalan ilmiah tertulis –yaitu turas- akan tetapi di lain pihak fenomena modernisasi turut juga menuntut kita untuk mampu mengkolaborasi pemikiran Islam terdahulu supaya tetap eksis pada masa kini.
Di tengah proses komparasi turas Islam dan modernitas tersebut, hadir sosok Arkoun yang merupakan salah satu corong pembaharu pemikiran Islam selain Muhammad Âbid al-Jâbirî, Hasan Hanafi, Adonis, Muhammad Abduh dan lain-lain. Dibanding dengan yang lain, sosok Arkoun lebih terkenal bernyali memasukkan antropologi aplikatif di tubuh Islam. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tawaran modernitas Arkoun yang diwujudkan dalam bentuk beberapa karya kolaborasi stimulan intelejensi dan nurani seorang Arkoun.
B. Selayang Pandang Perjalanan Hidup Sang Modernis
Pria ini dilahirkan di Tawrit Maimun salah satu provinsi besar Aljazair pada tahun 1928. Selepas menamatkan jenjang sekolah menengah atasnya di Wahran, Arkoun meneruskan pendidikannya di Aljazair kemudian terbang ke Perancis hingga meraih gelar Doktor dari Univesitas Sorbone pada tahun 1969. Sampai saat ini, sang modernis masih menjadi guru besar di Universitas Sorbone pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam. Beberapa karya beliau yang melanglangbuana di dunia pemikiran Islam antara lain;
1. Al-Insiyah al-‘Arabiyah fî al-Qarn al-Râbi’ al-Hijrî (pada tahun 1970)
2. Min Ajli Naqd al-‘Aql al-Islâmî (pada tahun 1984)
3. Al-Islâm; al-Akhlâq wa al-Siyâsah (pada tahun 1986)
4. Âfâq Musyarra’ah ‘alâ al-Islâm (pada tahun 1989) [2]
C. Pendekatan Sosio historis dan Filosofis terhadap Modernitas
1. Pengertian dari Modernitas
Mengikuti terma linguistik Perancis, modern memiliki nilai historis yang muncul terlebih dahulu dibanding modernitas. Istilah modern berkembang pada akhir abad kelima Masehi sedangkan istilah modernitas barulah dipergunakan pada abad ke 19.
Kalaulah Budlier menyimpulkan bahwa modernitas merupakan jalan menuju pesona eksotik di setiap trend masyarakat yang mengalami perubahan di setiap fase-fasenya, tentunya hal ini lebih terkait pada nilai artistik saja. Kemudian, akan timbullah pertanyaan di benak kita bersama maksud daripada modernitas dalam ruang lingkup nilai filosofis.
Para pemikir-pemikir brilian dunia sulit mencapai kata sepakat dalam menentukan maksud modernitas dari segi nilai filosofis. Akan tetapi hal ini tidak menyurutkan langkah kita untuk menentukan beberapa perwajahan dan karakteristik umum modernitas.
Pertama, modernitas lebih bersifat universal yaitu bahwasanya ranah yang disentuh modernitas tidak hanya menyentuh salah satu aspek. Hal ini dikarenakan karena modernitas adalah perwajahan peradaban universal yang menyentuh segala aspek pendekatan humanis.
Kedua, modernitas segendang sepenarian dengan taklid. Menurut Hebermes, “Modernitas selalu melewati fase sadar masa-masa yang sedang dijalaninya dan mengenal lebih jauh karakteristik era tersebut sehingga mampu mencapai transformasi budaya dari budaya lama ke budaya baru.”[3]
Ketiga, modernitas mempunyai keterkaitan dengan sejarah Eropa yang merupakan hasil dari proyek aplikasi sadar sejarah bermula pada masa renaissance dan kodifikasi. Dari karakteristik ketiga ini, kita dapat menyimpulkan bahwa modernitas adalah proyek perwajahan peradaban yang dihasilkan dunia Barat dimulai pada pertengahan abad 19 dan merupakan hasil dari berbagai proses elaborasi termasuk di dalamnya aspek pemikiran, politik, ekonomi, religi dan sosial.
Keempat, modernitas mampu menjadi pencerah peradaban dunia. Karena pada dasarnya, aspek globalisasi merupakan salah satu dari nilai esensial proses modernitas. Salah satunya adalah dengan berkembangnya teknologi sebagai sarana audio-visual yang telah melewati fase produktifitas manusia.
Kelima, modernitas mampu mengkritisi fenomena yang terjadi di sekitarnya. Salah seorang pakar riset berkata, “karakteristik terpenting modernitas adalah kemampuannya dalam mengkoreksi , mematangkan dirinya dan mengatasi problematika yang belum terfikirkan sebelumnya.
2. Pendekatan Sosio-historis Modernitas
Kebanyakan pakar sejarah masa kini dan abad pertengahan menyadari bahwa modernisasi muncul karena adanya berbagai macam peristiwa-peristiwa bersejarah seperti jatuhnya konstantinopel tahun 1453 dan ditemukannya benua Amerika tahun 1492. Pada masa-masa tersebutlah masyarakat Eropa mulai meninggalkan masa pertengahan dan memasuki masa modernisasi yang telah berlangsung selama lebih dari tiga abad dan mampu menghasilkan beberapa fase modernisasi, di antaranya adalah, renaissanse di Italia, revitalisasi religi di Jerman, revolusi ilmu pengetahuan (ilmu falak khususnya), revolusi industri di Inggris dan revolusi Perancis. Pada dasarnya untuk lebih mengenal fase-fase tersebut, kita dapat mengidentifikasinya menjadi dua masa yaitu masa renaissance dan masa pencerahan. Untuk lebih jelasnya, kita akan mempelajari perwajahan politis masa renaissance dan masa pencerahan tersebut.
Pertama, perwajahan politis masa renaissance. Istilah renaissance meluas ke ranah sejarah filsafat bercermin pada komunitas sosial dan filsafat Eropa –yang berawal dari renaissance Italia- ketika munculnya masyarakat borjuis pertama pada abad 15.
Sebagaimana diketahui, renaissance tumbuh berkembang karena adanya dua gerakan pemikiran yang saling berkomplementasi, yaitu kecondongan humanisme dan ditemukannya ilmu-ilmu tabiat sebagai substitusi arah pandangan ketuhanan dalam rangka memahami manusia dan alam.
Periode antara 1400-1600 telah diwarnai oleh pengaruh besar bidang artistik dan pembangunan, terbentuknya pemikiran modern, dan kembali pada contoh ideal tipe-tipe klasik. Karena, para penulis masa renaissance sering menyebut masa mereka dengan masa restorasi (restauration) yang lebih menitikberatkan kepada revitalisasi turas Yunani kuno.
Kedua, perwajahan politis masa pencerahan. Pada dasarnya, abad 17 memiliki dua keistimewaan. Yang pertama ditandai dengan munculnya metodologi eksperimental sedangkan yang kedua ditandai dengan ajakan untuk berfikir rasional dan peletakan dasar-dasar metodologi pemikiran.[4]
3. Kaedah Dasar Modernitas
Para pemikir filsafat sepakat menyatakan bahwa modernitas berdiri atas beberapa konsep pokok, utamanya adalah subyektifisme, rasionalisme, dan nihilisme.
a. Subyektifisme
Paham subyektifisme dianggap sebagai titik tolak adanya teori modernitas karena pada akhirnya modernitas telah menjadi ikon prioritas dan kemenangan suatu subyek bahkan hasil akhir suatu proses subyektifitas alam setelah sekian lama Eropa berselimutkan awan hitam abad pertengahan.
Di antara hasil stabilisasi asas subyektifisme adalah sebagai berikut:
- Eksistensi alam menjadi obyek yang semakin diamati.
- Surut dan terbenamnya pancaran ketuhanan di dunia setelah manusia terhegemoni oleh paham imperialisme.
b. Rasionalisme[5]
Suatu paham yang menghendaki perkembangan ilmu pengetahuan dan membuka kedok fenomena abstrak koneksi manusia dengan alam hingga akhirnya modernitas bergumulan dengan hal-hal yang rasional dan menjauhi hal-hal yang tidak rasional. Paham ini berhasil memberikan kontribusi pada rasionalitas pemikiran ilmiah, rasionalitas pemikiran politis, rasionalitas diskursus sejarah, dan rasionalitas diskursus religius.
c. Nihilisme
Suatu diskursus yang menitikberatkan pada kealpaan wujud sesuatu yang bernilai mutlak termasuk di dalamnya peniadaan esensi mendasar suatu etika dan struktur nilai-nilai. Niestche menganggap bahwa paham ini menghendaki sesuatu yang bernilai tidak memiliki nilai. Artinya, apa-apa yang pada awalnya sudah menjadi landasan dan memiliki martabat tinggi perlu diberikan kesan nihil.
Berbicara tentang nihilisme berarti setuju atau bahkan memberikan posisi besar terhadap relativisme dan menganggap masyarakat sebagai rujukan utama peletak dasar kaedah penilaian sehingga kebaikan adalah apa-apa yang bermanfaat untuk masyarakat sedang keburukan adalah apa-apa yang merugikan keselamatan dan efektifitas masyarakat.
Dari ketiga asas dasar di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa arah pandangan filsafat berdiri atas tiga hal yaitu pandangan subyektifisme pada alam wujud, kecondongan rasionalisme pada ilmu pengetahuan dan diskursus, dan nihilisme dan relativisme pada penilaian.
4. Tahap-tahap dan Stereotip Modernitas
Modernitas tumbuh berkembang secara bertahap menyentuh berbagai ranah pemikiran dan memberikan saham besar dalam memutuskan hubungan dengan segala sesuatau hal yang bersifat taklid. Menurut Turaiki, modernitas adalah misteri yang dihadapi manusia baik menyentuh ranah politik, sosial maupun ekonomi.[6]
Aspek politik sering dianggap sebagai pemicu utama modernitas. Hal ini di samping karena politik merupakan salah satu karakteristik utama pemikiran modern juga karena aturan politiklah legitimasi taklid tersisihkan sehingga yang pada awalnya politik melulu tunduk pada kekuasaan berpindah haluan mentaati keputusan bersama masyarakat.
Modernitas juga tampak pada aspek ekonomi yang antara lain berhasil menciptakan hak kepemilikan tiap pribadi, kebebasan lembaga keuangan, pembagian kerja, dan undang-undang pasar didukung oleh semakin tumbuh kembangnya kreatifitas dan berbagai penemuan ilmiah.
Rupanya modernisasi pemikiran dianggap sebagai bukti konkret spirit modernitas dibandingkan tahap-tahap modernitas yang telah disebutkan sebelumnya. Muhammad Sabila misalnya, menjelaskan bahwa keistimewaan alam pemikiran terletak pada empat unsur yaitu,pengetahuan, manusia, alam dan sejarah yang saling berkait kelindan.
Dari beberapa aspek modernitas di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya pada dasarnya modernitas terletak pada dua hal yaitu modernitas materialistik dan modernitas intelektualistik. Wacana modernitas intelektualistik menempati posisi khusus dalam tubuh Islam. Hal ini karena modernitas intelektualistik mampu mewarnai kehidupan negara-negara Arab dan negara-negara Islam yanglebih mengajak pada improvisasi cara berfikir hingga mencapai taraf metode berfikir sempurna.
D. Kritik terhadap Pemikiran Islam
Arkoun berpandangan bahwa untuk mengarahkan umat Islam kepada pola hidup berspirit modernitas, perlu adanya kritik terhadap masa lalu. Tentunya, apabila mengkritisi sejarah masa lalu, kita tidak akan terlepas dari mengkritisi cara berfikir manusia. Demikian halnya ketika akan mengajak umat Islam membelot dari aroma kehidupan rigid, dibutuhkan kritik terhadap pola pemikiran umat Islam itu sendiri.
1. Pendekatan terhadap Retorika Islam Terkini
Arkoun dalam melakukan pendekatan retorika Islam cenderung menyamaratakan retorika Islam. Pada dasarnya Arkoun mengetahui aneka ria retorika Islam seperti halnya yang dilakukan ‘Abid al-jabiri yang membaginya menjadi tiga sekte bayani, burhani dan irfani.
Pada setiap kesempatan, Arkoun sering menyelipkan puspa ragam retorika Islam. Suatu ketika Arkoun ditanya tentang seberapa luasnya pengaruh retorika Islam terkini. Kemudian Arkoun menjawab bahwa pada dasarnya dirinya mengenal sosok-sosok pembaharu pemikiran Islam seperti ‘Abid al-Jabiri, Abdullah al-‘Urwi, Hisyam Ja’ith dan lain-lain, akan tetapi jumlah mereka masih sangat sedikit padahal setiap dari mereka mampu memberikan perubahan signifikan dan progresif di tubuh Islam.
Menurut Arkoun, pembatasan kaedah-kaedah dasar pemikiran Islam tidak cukup hanya merujuk pada satu referensi saja akan tetapi di sana masih dibutuhkan sarana-sarana komunikasi seperti dialog, seminar, pengarahan bahkan media elektronik sekalipun. Hal ini dilakukan sebagai wujud proses pengarahan kontinyu dan berulang-ulang demi tercapainya pergerakan ajaran-ajaran Islam.[7]
2. Pengertian Pemikiran Islam dan Kaedah Dasarnya
Sebelum berbicara lebih jauh tentang alam pemikiran Islam menurut Arkoun, perlu kita ketahui bersama bahwa diskursus pemikiran Islam bukanlah suatu hal yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Islam, akan tetapi menyisakan berbagai macam polemik.
Polemik-polemik tersebut membutuhkan pentingnya pemulihan nama baik pemikiran Islam yang salah satunya ditempuh dengan cara mereview kembali maksud dari pemikiran Islam.
a. Pengertian Pemikiran Islam
Pembatasan pengertian pemikiran Islam menurut Arkoun tidak berkisar pada kesadaran atas pentingnya pemikiran Islam atau berkisar pada cara berfikir Aristoteles akan tetapi ditekankan pada aspek sadar sejarah.[8] Kalaulah alam pemikiran Islam dihubungkan dengan aspek sadar sejarah, lantas sejak kapankah pemikiran Islam menjadi problemayika menarik?
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam mendapat perhatian pertama kali ketika dilansirnya kitab Risâlah Imam al-Syâfi’î. Karena sebelum Imam al-Syâfi’î berbicara tentang ilmu Usul Fikih pada kitab al-Risâlah, para ulama usuli kala itu belum menggunakan kaedah dasar yang bisa dijadikan rujukan dalam menentukan hukum fikih. Hingga akhirnya, muncullah Syâfi’î sebagai pemrakarsa berdirinya ilmu Usul Fikih yang dapat dijadilkan rujukan istinbat hukum.[9]
Pada daftar isi kitab al-Risâlah, secara garis besar Imam al-Syâfi’î membagi judul tiap-tiap bab dengan menampilkan supermasi tingkat tinggi hukum Islam yang menempatkan posisi al-Qur’an sebagai supermasi kekuatan Tuhan yang bertingkat tinggi. Kemudian menempatkan Sunah sebagai supermasi kekuatan Nabi yang selanjutnya disusul ijma’, qiyas dan istihsan sebagai hasil ijtihad manusia hasil proses kristalisasi al-Qur’an dan Sunah.[10]
Nasr Hamid Abu Zaid menyimpulkan bahwa Imam al-Syâfi’î tidak melepas qiyas demi efektifitas akal. Dalam reproduksi qiyas, qiyas memiliki beberapa persyaratan yang menjadikan qiyas sebagai salah satu perangkat istinbat hukum yang terbatas dengan batasan-batasan hukum asal.
Dari sini kita dapat menemukan salah satu keistimewaan pemikiran Islam yang bergerak dalam ruang lingkup pengetahuan siap terap dan mampu berkarya dalam menemukan kebenaran ilmu bersandar pada nash-nash kitab suci. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Islam adalah pemikiran yang tunduk pada kitab suci.[11]
b. Epistema Pemikiran Islam
Epistema versi Arkoun adalah aturan pemikiran universal yang mampu mengontrol setiap periode ilmu baik secara implisit, eksplisit maupun secara arkeologis. Dalam keterkaitannya dengan pemikiran Islam, secara garis besar, maksud dari epistema pemikiran Islam mencakup sekumpulan kaedah-kaedah dan hipotesa-hipotesa yang dipergunakan pemikiran Islam secara implisit dalam memproduksi pemikiran pada masa-masa tertentu dan meletakkan pondasi pemikiran bertaraf tinggi yang proses pembentukannya tidak tampak.
Pada dasarnya, unsur-unsur pondasi pemikiran Islam –berkaca pada kitab al-Risâlah- Imam al-Syâfi’î menyandarkan pemikirannya diawali dengan penguasaan bahasa Arab dan didukung oleh realita yang menitikberatkan power mu’jizat al-Qur’an di mana manusia tidak akan mampu mengubahnya. Kemudian Imam al-Syâfi’î mengajak kita untuk bersama menyadari realita keberadaan Sunah sebagai wujud ketaatan pada Rasul sebagaimana telah diperintahkan Allah dalam al-Qur’an.
Arkoun akhirnya menyimpulkan bahwa metode pemikiran Imam al-Syâfi’î berdiri di atas sekumpulan kaedah yang menghegemoni etika Islam dimulai masa Imam al-Syâfi’î hingga masa kini.
Metode yang dipergunakan Imam al-Syâfi’î tersebut memiliki beberapa epistema pemikiran Islam, antara lain:
1. Tidak membedakan antara aspek mitos dan aspek sejarah.
2. Memposisikan muslim lebih mulia daripada non muslim.
3. Mensucikan bahasa Arab dan menganggap bahwa esensi tunggal al-Qur’an kembali pada Allah.
4. Para sahabat merupakan generasi istimewa Nabi karena mampu mengajarkan al-Qur’an dan Sunah dengan penuh ketelatenan, ikhlas dan teliti.
5. Syariat Islam merupakan tangan kanan al-Qur’an dan Sunah.
Inilah di antaranya beberapa epistema pemikiran Islam. Oleh karena metodologi pemikiran Islam Arkoun menitikberatkan untuk kembali pada masa kini, tentunya Arkoun menginginkan adanya keseimbangan antara pemikiran Islam dan pemikiran modern yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
3. Pemikiran Islam dan Pemikiran Modern
Islam –menurut Arkoun- bukanlah eksistensi esensial yang tidak dapat berubah pada sejarah perjalanannya dan bukan pula tidak terpengaruh terhadap segala sesuatu atau akan mempengaruhi segala sesuatu sebagaimana dipahami sebagian besar ulama. Itu berarti Islam adalah hasil dari proses sejarah yang puspa ragam sosio-kulturalnya dimulai dari Indonesia, Iran hingga Maroko. Akhirnya, Islam dalam prakteknya tidak selamanya bisa dijadikan sebagai proyek percontohan. Sehingga secara garis besar, Arkoun menganggap bahwa Islam tidak sempurna selamanya dan perlu mengadakan restrukturisasi batas-batas pemahaman Islam dengan berkaca pada persesuaian sejarah sosial dan peradaban serta meninjau ulang setiap periode kesejarahan akan tetapi harus tetapi tetap harus bersumber pada unsur-unsur pembentukan Islam puritan (al-Qur’an, Sunah, Faraidh, dan lain-lain).
Kemudian, dapat kita tarik benang merah bahwa Arkoun memandang pembaharuan pemikiran Islam berakibat pada tuntutan liberasi sebagai starting point pemikirannya dan dapat diterima kembali dengan cara mengkritisi pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya, menghindari pemikiran dogmatis, dan cara pandang ortodok yang selama ini menggerogoti tubuh Islam.[12]
E. Kritik Atas Arkoun
Setelah kita mempelajari beberapa pemikiran Arkoun terhadap dunia Islam secara singkat di atas, terdapat beberapa kritik atas Arkoun yang dilakukan oleh beberapa pemikir Islam. Di antara kritik atas Arkoun tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketika Arkoun mengkritisi pemikiran Islam dengan berpegang pada pemikiran Kant, Arkoun hanya menyebutkan bahwa pemikiran Islam adalah pemikiran yang memiliki kecenderungan-kecenderungan tanpa perlu adanya penafsiran panjang. Sementara itu, Kant sendiri membagi akal menjadi tiga bagian, yaitu akal murni yang memerintahkan kita untuk berfikir, akal praksis yang memerintahkan kita untuk berbuat, dan akal artistik yang memerintahkan kita untuk memiliki kecenderungan. Dengan demikian, dapat kita simpulkan Arkoun terlalu cepat mengambil keputusan bahwa pemikiran Islam lebih condong kepada akal kecenderungan (akal artistik) dan melupakan akal perspektif Islam khususnya apabila dikaitkan dengan retorika ilmiah Islam. Lantas, di mana posisi ilmu kedokteran, teknik, aljabar dan lain lain ketika dikaitkan dengan kritik pemikiran Islam Arkoun? Dan apakah hal ini mengarah pada ajakan untuk memisahkan pemikiran ilmiah Arab dari agama mereka?[13]
2. Ketika menjelaskan tentang pemikiran usuli kitab Rîsalah Imam al-Syâfi’î, Arkoun tidak menjelaskan lebih dalam penelitiannya tentang konsensus ulama. Padahal realita membuktikan bahwa konsensus merupakan salah satu asas usul fikih walaupun hanya menempati posisi ketiga setelah al-Qur’an dan Sunah. Di samping itu, dia tidak menjelaskan bahwa konsensus telah mengalami perjalanan sejarah panjang dimulai dari zaman Khulafâ al-Râsyidîn hingga silang pendapat para ulama seputar batasan-batasan konsensus itu sendiri. Ini berarti, Arkoun melupakan aspek sejarah yang dilalui proses Ijma’. Dan bagaimana dia dapat mengkritisi pemikiran Islam tanpa berpijak pada proses asasi ini?[14]
3. Ketika berbicara tentang nihilisme, Arkoun –dan mungkin pembaharu lain- mengajak kita untuk tidak memberikan penilaian benar atas suatu yang kita anggap benar sebelumnya. Sehingga hal seperti ini dapat menimbulkan relativisme kebenaran pada kehidupan. Padahal Islam datang dengan membawa nilai-nilai kebenaran. Umat Islam bila bersikap eksklusif terkadang wajib, merasa benar sendiri terkadang wajib, skeptis terkadang halal dan terkadang haram, berani menanggung semuanya itu, dan itu adalah wajib. Islam itu modern. Yang mengatakan tidak modern dialah yang tidak modern. Semua ciri kemodernan ada di dalam al-Qur’an kalau kita menelaahnya dengan baik.[15]
F. Epilog
Terkadang, fenomena dogmatif di tubuh Islam perlu bahkan wajib. Oleh sebab itulah untuk masuk ke ranah dunia Islam, kita diperintahkan untuk bersyahadat bukan untuk bersumpah bahkan untuk mengetahui saja. Karena bersyahadat memiliki tanggungjawab kompleks, yaitu terhadap Islam umumnya dan terhadap Allah khususnya apalagi yang lebih urgen adalah tanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Lain halnya dengan sumpah atau sekedar tahu bahwa dirinya seorang muslim.
Di samping itu, untuk mengakui Islam sebagai agama Allah dan kita adalah hamba Allah yang bersaksi atas keesaannya, kita acap kali diperintahkan mengucapkan Lâilâha illa Allah dan bukan al-Ilâhu Allâh. Ini berarti bahwa kita bersaksi bahwa Tuhan –yang lain- selain Allah itu mutlak tidak ada.
Tuntutan modernisasi di tubuh Islam memang sudah banyak digencarkan dan pada hakikatnya, di tubuh Islam terdapat sisi modernitas. Tergantung bagaimana seorang muslim menyikapinya dan menelaahnya dengan baik.
Arkoun menurut sebagian pemikir muslim mungkin dinilai sebagai salah seorang pembaharu pemikiran Islam tetapi di lain pihak, dia juga dinilai sebagai orientalis berjubah muslim. Pemikirannya pun sangat sulit dipahami dikarenakan kemampuannya dalam menggunakan istilah-istilah terbaru yang sesuai dengan sosio-kultural masyarakat kini dan mengadopsi beberapa pemikiran Barat yang selama ini jauh akan sentuhan umat Islam. Oleh sebab itu, dalam rangka menghadapi virus akut atau –mungkin- parfum wangi modernitas versi Arkoun di tubuh Islam, sudah seharusnya kita lebih hati-hati dalam mengkomparasikan yang mana seharusnya kita terima dan mana yang seharusnya kita tinggalkan. Waspadalah! Waspadalah! Wallâhu a’lamu bi al-Shawâb.
——————————————————————————–
[1] Makalah ini disampaikan pada Kajian Salsabila Study Club, Kairo, Mesir tanggal 02 November 2007
[2] Muhammad Arkoun, et.al., al-Islam wa al-Hadâtsah, Dâr al-Sâqî, London, hal. 418.
[3] Farih Masrahi, al-Hadâtsah fî fikr Muhammad Arkoun, Arab Scientific Publishers, Inc, Aljazair, hal 22.
[4] Ibid., hal. 31.
[5] Rasionalisme adalah suatu faham yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio, dan jiwa manusia. (H. Endang Saifuddin Anshari M.A, Ilmu, Filsafat dan Agama, Penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya, hal. 91)
[6] Fârih Masrahî, Op.Cit., hal. 43.
[7] Ibid., hal. 56.
[8] Menurut Arkoun, “pemikiran Islam tidak hanya berkisar pada terma-terma alam pemikiran baik secara khusus maupun secara keseluruhan. Karena diskursus tentang hal tersebut tidak akan selesai pada taraf tertentu karena pada dasarnya aspek sadar sejarah sangat sulit menentukan awal dan akhir dari suatu peristiwa.
[9]Farih Masrahi, Op.Cit., hal. 65.
[10] Ibid., hal. 66.
[11] Ini berarti bahwa akal selamanya patuh kepada perintah wahyu dan dalam memahami nash-nash Tuhan pun, kita harus bersandar pada pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an. Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa kita menemukan kembali salah satu keistimewaan pemikiran Islam yaitu adanya pemikiran dogmatif.
[12] Fârih Masrahî, Op.Cit., hal. 82-83.
[13] Al-Fajjârî, Muhtar, Naqd al-‘Aql al-Islâmî ‘inda Muhammad Arkoun, Dâr al-Thalî’ah, Beirut, hal. 111.
[14] Ibid., hal. 150-151.
[15] Hasan Abdullah Sahal, makalah yang berjudul “Islam Eksklusif”
Daftar Pustaka
1. Al-Fajjârî, Muhtar, Naqd al-‘Aql al-Islâmî ‘inda Muhammad Arkoun, Dâr al-Thalî’ah, Beirut, 2005.
2. Anshari, Endang Saifuddin, M.A, Ilmu, Filsafat dan Agama, Penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya, 1979.
3. Arkoun, Muhammad, et.al., al-Islam wa al-Hadâtsah, Dâr al-Sâqî, 1960.
4. Masrahî, Farih, al-Hadâtsah fî Fikr Muhammad Arkoun, Arab Scientific Publishers, Inc, Aljazair, 2006.
5. Sahal, Hasan Abdullah, makalah yang berjudul “Islam Eksklusif”.

Comments