HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Perlu diketahui bahwa Hukum Islam telah lama hidup di wilayah nusantara, dan hal itu beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia menggunakan kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam hal ini kita membahas masuknya Islam ke Indonesia, karena dari sinilah kita akan mengetahui karakteristik Islam yang tumbuh dan berkembangnya, yang mempengaruhi pola pemikiran umat islam dalam memahami dan mengembangkan Hukum Islam Indonesia. Dan kita akan berbicara tentang sumber Islam, dari mana datangnya, para pembawa Islam pertama serta waktu kedatangannya. Tentang hal ini Azyumardi Azra bahwa ada tiga teori yaitu ; pertama : sumber islam berasal langsung dari Arab (Hadramaut) dan masuk pertama kali di pesisir Aceh pada abad 1 H/ 7 M, kedua : sumber Islam di kepulauan Melayu-Indonesia adalah anak benua India, selain Arab dan Persia. Sedangkan orang yang pertama kali mengemukakan teori ini adalah Pijnappel yang berkebangsaan Belanda dari Universitas Leiden. Dia mengaitkan asal-usul Islam di Indonesia ke kawasan Gujarat dan Malabar dengan alasan bahwa orang-orang Arab bermazhab syafi’iyyah berimigrasi dan menetap di daerah-daerah tersebut yang kemudian membawa Islam ke Indonesia. Kemudian yang ketiga : sumber Islam adalah Benggali (Bangladesh). Salah satunya menurut Fatimi bahwa ia berpendapat bahwa salah jika mengaitkan batu nisan Malik as Saleh dengan Cambay. Menurut penelitiannya, gaya batu nisan milik Malik as Saleh sangat berbeda dengan corak batu nisan Gujarat dan propotipe Indonesianya. Bahwa kenyataanya bentuk batu nisan itu sama dengan yang ada Benggali. Dan itu pasti diimpor dari Benggali.
Jadi, akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate seryta tidore.
Adapun dari berdirinya beberapa kerajaan di atas, sehingga yang telah tercatat dalam sejarah bahwa Hukum Islam sendiri telah digunakan sebagai hukum positif yang berlaku. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Kondisi seperti itu terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke wilayah Indonesia.


Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran organisasi perdagangan dagang Belanda di Hindia Timur atau kita kenal dengan sebutan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab pemerintah kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangan tangannya selama di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan ia juga mewakili kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Namun dalam kenyataannya penggunaan hukum Belanda itu sulit sekali diterapkan karena peduduk pribumi merasa berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya VOC membiarkan atau membebaskan mereka untuk menjalankan apa yang selama itu telah mereka jalankan sebelumnya.
Akan tetapi walaupun begitu, tentu masuknya pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia telah membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan Hukum Islam, walaupun secara formal hukum Islam tetap diberlakukan. Karena kompensasi dari wujud kecurigaaan pada awal abad ke-19 tersebut, pemerintah Belanda mengintrodusir istilah het indische adatrecht atau sering kita sebut dengan hukum adat. Mengenai hal ini, Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) menjadi pelopornya. Lalu pemikiran itu dikembangkan lagi oleh seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda mengenai soal Islam dan anak negeri jajahan, Cristian Snouck Hugronje.
Dalam gagasan mereka bahwa hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum adat bukanlah hukum Islam. Jadi hukum Islam akan berlaku jika dalam hukum adat sendiri telah menerimanya.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Jepang
Sesudah tanggal 8 Maret 1942, saat jenderal Ter Poorten menyerahkan diri tanpa syarat kepada panglima militer jepang untuk kawasan selatan maka dengan segera pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 1942 yang menegaskan bahwa pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaannya yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketetapan itu tentu berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan Hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam Indonesia, seperti halnya yang tercantum pada :
 Janji panglima militer Jepang unutk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
 Mendirikan Shumubu (kantor urusan agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
 Mengijinkan berdirinya ormas islam, seperti Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama’.
 Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indoneisa (Masyumi) pada bulan Oktober 1943.
 Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
Dengan demikian nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di tanah air. Namun bagaimanapun juga masa pendudukan Jepang itu lebih baik daripada belanda jika dilihat dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa kebijakan pemerintah belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau Pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi islam. Ketika pasukan Jepang dartang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

Hukum Islam pada Masa setelah Kemerdekaan Indonesia
Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45’ serta di dalam pembukaan UUD 45’, dijelaskan bahwa kedudukan Hukum Islam telah mantap dan berkembang di Indonesia, karena pada dasarnya Hukum Islam merupakan hukum dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah disesuaikan dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Sedangkan menurut Noel J Coulson bahwa hukum Islam ini diakui sebagai hukum Tuhan dengan ungkapannya “does not grow out of …an avolving as is the case with system but is imposed from above”.
Adapun kaidah-kaidah atau pola etis di dalam Alqur’an telah memberikan pengaruh serta dorongan terhadap hukum modern itu sendiri. Namun pastinya akan ada kemungkinan variasi dalam menafsirkannya yang mana memang harus sesuai kebutuhan ruang dan waktunya.
Hukum Islam dalam pelaksanaannya di peradilan agama telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang menjelaskan tentang Pembentukan Peradilan Agama di Luar Jawa dan Madura dengan berlabelkan nama sebagai Mahkamah Syar’iyyah tingkat pertama di Kabupaten dan juga tingkat banding yang ditempatkan di ibukota propinsi. Dan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pada pasal kesepuluh yang mengatur adanya peradilan agama disamping peradilan umum. Dan dengan begitu maka hukum Islam telah dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum Islam yang disandarkan dalam pasal 29 UUD 1945.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka hal itu menunjukkan bahwa hukum Islam semakin berkembang. Dan setelah Indonesia merdeka berdasarkan pasal 29 tahun 1945 diintroduksi satu teori yang dinamakan sebagai receptio a contrario theorie, yang menjelaskan jika hukum adat baru akan berlaku jika telah diterima oleh hukum Islam.

Teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia
Mengenai teori-teori ini sebenarnya jugamerupakan ringkasan sejarah bagaimana Hukum Islam diberlakukan di Indonesia. Teori-teori tersebut antara lain adalah :

1) Teori Receptio in Complexu
Bahwa Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animesmi dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Antara lain berdiriah kerajaan Demak di pesisir utara Jawa Tengah. Praktis sejak saat itu Islam tidak hanya berfungsi sebgai keyakinan akan tetapi juga asebagai panduan amaliah praktis. Raja pada waktu itu mempunyai 3 fungsi utama yaitu;
o Pemerintahan umum
o Pertahanan dan keamanan
o Penata bidang agama.
Oleh karena itu, gelar-gelar raja pada saat itu antara lain adalah ;
• Sampeyan dalem hingkang sinuhun
• Senapati hing ngalogo, yakni panglima tertinggi angkatan perang,
• Sayidin panatagama khalifatullah, yaitu khalifah Allah pengatur bidang agama.
Simbolisasi dari ketiga fungsi tersebut diagambarkan dalam tata letak, antara alun-alun, kraton, dan masjid dalam kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang hingga sekarang masih dapat dijumpai sisa-sisa peninggalannya. Adanya jabatan kanjeng penghulu, penghulu tuanku mufti, tuanku kadi, disamping para raja dan bupati, sampai jabatan lebai, modin, kaum, dan sebagainya di samping lurah, kepala nagari/kampung, tidak lain menunjukkan adanya pengaruh dan watak ketatanegaraan dari pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia.
Sedangkan menurut Rahmat Djanika bahwa fiqh syafi’iyah lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun pengaruh mazdhab hanafi, mulai diterima. Penerimaan dan pelaksanaan hukum Islam ini dapat dilihat pada masa kerajaan-kerajaan islam awal. Pada zaman kesultanan Islam, Hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara. Di Aceh, atau pada masa pemerintahan Sultan Agung, Hukum Islam telah diberlakukan walaupun masih tampak sederhana. Meskipun seperti dinyatakan Daniel S. Lev bahwa corak keberagaman mereka bersifat synkretis. Hukum adat setempat dalam kenyataannya menyesuaikan diri dengan Hukum Islam. Misalnya ; di Banten pada masa kesultnanan Sultan Agung Tirtayasa Hukum Adat dan Hukum Agama tidak ada bedanya. Di Sulawwesi di Wajo, hukum waris diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam dan adat. Keduanya menyatu dan hukum adat menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Dengan kata lain sosialisasi hukum Islam pada waktu itu berjalan ssangatt hebat. Misalkan saja Sultan Agung yang menyebut dirinya sebagai Abdul Rahman Khalifatullah Sayidin Panatagama. Atas dasar penerimaan Hukum Islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masyarakat, kemudian muncullah teori receptio in complexu yang diintrodusir oleh Van den Berg.

2) Teori receptie
Masuknya pemerintah kolonial belanda ke Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan Hukum Islam, meskipun secara formal hukum Islam tetap diberlakukan. Hal ini didasari oleh adanya kecurigaan dari sebagian pejabat Belanda pada aawal abad ke-19 , meskipun mereka relatif berharti-hati membuat pernyataan. Menurut Daniel S. Lev ketegangan ini adalah bagian “politisasi” kekuatan Islam menghadapi penguasa-penguasa non Islam.
Kompensasi dari wujud kecurigaan mereka pemerintah kolonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht atau hukum adat Indonesia. Gagasan ini disponsori oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dikembangkan oleh seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri jajahan, Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936).
Dalam gagasan mereka intinya bahwa hukum yang berlaku bagi ornag Islam adalah hukum hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh Hukum Adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Dari sinilah kemudian lahir teori receptie.
Muatan pokok teori receptie ini adalah prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial. Di Aceh, Hurgronje telah berhasil mengkonfrontasikan antara ulama’ dan uleebalang. Musuh kolonialisme, menurutnya bukanlah Islam sebgai agama, melainkan islam sebagai doktrin politik. Ia melihat kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulakan bahya terhadap kekuasaan Belanda. Seperti kata Daniel S. Lev meskipun ia tahu bahwa Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan Animisme dan Hindu, ia tahu bahwa orang Islam di negeri ini memandang agamanya sebgaai alat pengikat kuat ynag membedakan diri dari orang lain.
Langkah-langkah politik Hurgronje tersebut disampaikan di depan sivitas akademika NIBA (nederlandsche indische bestuurs academie) Delft tahun 1911. Pertama, terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral. Kedua, masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan, dan ketiga tiada satupun bentuk Pan-Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Agaknya penglihatan Hurgronje terhadap perkawinan dan kewarisan hanya dilihat sebagai hubungan keperdataan biasa terlepas dari aspek ibadah. Padahal bagi orang Islam sendiri, kedua masalah tersebut memiliki muatan transenden yang tidak lain memiliki unsur ibadah.
Melalui usaha-usaha terus menerus dan sistematis, akhirnya Hurgronje berhasil mengganti teori receptie in complexu menjadi teori receptie.

3) Teori Receptio a Contrario
Pengaruh dari teori receptie dalam masyarakat ternyata berjalan cukup lama dan telah mengausai pikiran hukum Indonesia. Teori yang menurut Sajuti Thalib, secara formal lahir melalaui IS 1929 pasal 134 hemat penulis bukan saja menguasai pikiran hingga masa-masa menjelang diundangkannya Undang-undang Dasar 1945, tetapi bahkan hingga akhir dekade 90-an kecenderungan tersebut masih sangat dirasakan. Walaupun pada waktu itupun sebenarnya sebagian masyarakat muslim telah mempunyai kesadaran bahwa bahwa kelahiran UUD 1945 seharusnya telah menggantikan UU negara jajahan Hindia Belanda. Mengutip pendapat Soepomo, Thalib menyebutkan bahwa sejak tahun 1945 hingga 1975 masih ada dua kubu pendapat yang berbeda. Satu pihak mengatakan bahwa pasal 134 ayat 2 IS tidak berlaku lagi, tetapi di pihak lain demi kepastian hukum pasal tersebut terus diberlakukan.
Kontrofersi tersebut dapat dilihat pada saat BPUPKI (Badan Penylidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) merumuskan dasar negara, para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan Hukum Islam dalam negara Indonesia yang merdeka. Dalam piagam Jakarta 22 Juni 1945, disepakati bahwa negara berdasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun kemudian, atas desakan pihak Kristen atau versi lain menyebut utusan dari wilayah negara Indonesia bagian timur dengan alasan kesaatuan dan persatuan, panitia sembilan akhirnya mengeluarkan tujuh kalimat tersebut dari Pembukaan UUD 1945 dan diganti dengan kata “Yang Maha Esa” yang menurut Daud Ali, mengandung norma dan garis hukum.
Pada tahun 1950 dalam konferensi Departemen Kehakiman di Salatiga Prof Hazairin telah mengarahkan suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam itu berlaku di Indonesia, tidak berdasar pada hukum adat. Berlakunya Hukum Islam menurut Hazairin supaya disandarkan pada penunjukkan paraturan perundang-undangan sendiri. Sama seperti hukum adat selama ini yang dasar memperlakukan hukum adat itu sendiri adalah berdasar sokongan peraturan perundang-undangan. Karena itu haruslah dipersiapkan dan dibuatkan perundang-undangan terhadap hal itu.
Pandangan Hazairin tersebut sebenarnya sangat realistis, hal ini sejalan dengan historis-historis seperti di Aceh misalnya masyarkatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan mengenai harta mereka, kewarisan diatur menurut Hukum Islam. Ketentuan adat dalam upacara perkawinan sejauh tidak bertentangan dengan hukum islam, maka diterima. Di Minangkabau dikenal adagium atau pepatah-petitih adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah).
Sistem kekerabatan Minangkabau oleh sejarah dicatat mengunakan sistem matrilineal yaitu suatu sistem kekerabatan bahwa daalm penentuan hubungan kekerabatan dihubungkan dari garis ibu saja. Namun agaknya sekarang ini, kata Amir Syarifuddin telah mulai berubah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi kekerabatan tersebut. Antara lain ; pertama, pengaruh hukum islam ynag menempatkan ayah (suami) sebagai kepala keluarga. Implikasinya komposisi keluarga berubah dari bentuk anak-ibu-mamak dalam extended family yang menjadi ciri khas kekerabatan matrilineal, menjadi keluarga inti (nuclear family) yang komposisinya anak-ibu-ayah sebagi sistem kekeluargaan parental. Kedua, sistem ekonomi masyarakat yang semula terpusat pada tanah berubah menjadi ekonomi moneter. Demikian halnya pendidikan modern dan kehidupan merantau orang Minang telah membuka cakrawala baru.
Jadi harus diakui bahwa kendati Hukum Islam telah diterima kembali sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan hukum adat, atau dengan kata lain hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dan dari sinilah kemudian dikenal dengan teori receptie exit atau receptio a contrario.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Pada dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris compilation atau dalam bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah inilah (kompilasi) yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung dari kata tersebut.
Sedangkan jika menurut sebuah kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris karangan S. Wojowasito dan WJS. Poerwadarminta dijelaskan bahwa kata compilation berarti karangan yang tersusun dan kutipan dari buku-buku lain.
Namun apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam Indonesia, maka biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di dalam nya. Padahal tidak seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya yang telah dikodifikasi. Karena kompilasi sedikit berbeda dengan pengkodifikasian.
Dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus suatu perkara, Departemen Agama cq Biro Peradilan Agama melalui surat edaran Nomor B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqih yang sebagian besar merupakan kitab yang berlaku di kalangan mazhab syafi’i. Dan menyadari akan hal itu, maka para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk menyelasaikan segala masalah dalam era globalisasi ini. Dalam kaitan ini prinsip yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan.
Dan langkah awal yang dilaksanakan oleh mereka adalah mendobrak paham ijtihad yang telah tertutup, dan membuka kembali kajian-kajian tentang hukum islam dengan metode komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dan berusaha agar hukum Islam tetap eksis sepanjang zaman. Paham yang mengatakan lebih baik taqlid daripada membuat hukum baru , harus segera dihilangkan. Mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum nasional dan dapat menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara.
Bahwa secara substantif, upaya-upaya penghimpunan fiqh ke dalam bahasa perundang-undangan telah lama dirintis oleh para ahli hukum dan ulama Indonesia. Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya tetap undang-undang. Karena bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan paksa pada sobyek serta objek hukumnya, berbeda dengan kompilasi yangsesuai dengan karakternya. Yang mana hanyalah menjadi pedoman saja, relatif tidak mengikat.
Karakteristik Hukum Islam Indonesia sangat dominan diwarnai oleh kepribadian arab (arab oriented) dan lebih lekat pada tradisi mazhab syafi’i. ini terlihat dari beberapa kitab rujukan yangdipakai oleh para ulama’, yang kebanyakan menggunakan kitab-kitab fiqih dari kalangan syafi’iyah. Dan hal ini tidak jauh beda dengan kondisi sekarang seperti ketika par aulama’ indoneisa merumuskan kompilasi hukum Islam (yang disahkan melalui intruksi presdien nomor 1 th 1991). Dan selain kita terpaku pada kitab fiqih bermazhab syafi’i, secara metodologis pun kita kebanyakan masih mempelajari kitab-kitab ushul fiqh yang bermazhab syafi’I pula.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum islam yang telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama’ (hakim), keputusan pengadilan, dan perundang-undangan . Sebagai ijma’ ulama’ indonesia, Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial kompilasi tersebut dalam sepanjang sejaranhya, telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini, sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya sekarang.
Adapun tujuan perumusan kompilasi hukum Islam di Indonesia ini adalah menyiapkan pedoman yang seragam (unifikatif) bagi hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragam-ragam. Dengan demikian tidak ada lagi kesimpangsiuran keputusan Pengadilan Agama. Karena bagaimanapun juga harus diakui bahwa sering terjadi pada kasus-kasus yang sama tetapi keputusannya berbeda, dan hal ini karena berbeda dari referensi kitab-kitab fiqih para ulama’ yang memang disesuaikan denagn karakteristiknya masing-masing dengan pengaruh situasi serta lingkungannya. Dan jika menurut Bustanul Arifin bahwa Hukum Islam tersebut harus merupakan suatu peraturan yang jelas dan sama bagi semua orang yakni di dalamnya harus ada kepastian hukum.