HAM DAN HUKUM ISLAM

Masalah HAM masih menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejak pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional.
Di wilayah Indonesia, perkara hak asasi manusia tersirat dalam makna sila ke-2 pancasila yang sebagai dasar negara ini, ”Kemanusiaan yang adil dan Beradab.” Dalam Undang-Undang no.39 tahun 1999 juga dijelaskan mengenai definisi hak asasi manusia, yaitu : ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Walaupun HAM merupakan bagian dari dasar negara, sebenarnya HAM bukanlah murni dari hasil pemikiran orang Indonesia sendiri. Seorang pegiat HAM, M.M. Billah, menyatakan bahwa fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri menunjukkan bahwa ajaran hak asasi manusia merupakan produk kebudayaan dan filsafat barat dalam masa pencerahan di abad ke-18 ketika para ahli filsafat masa itu berupaya mencari landasan kebenaran moral dan keagamaan di dalam sifat-sifat manusia, dan mengembangkan satu agama serta moralitas yang ’alamiah’. Tetapi konsepsi tentang sifat manusia dan kebebasan manusia yang muncul pada kenyataanya amat menyatu dengan tradisi budaya yang memunculkannya, yakni kebudayaan dan filsafat barat itu sendiri.
Dan apabila kita melihat sejarah mengenai HAM, terbentuknya konsep ini nyaris tidak lepas dari dominasi pemikiran barat. Kesadaran akan hak asasi dalam peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam sejarah, masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan atas, minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai kewajiban-kewajiban, sehingga mereka diperlakukan sewenang-sewenang oleh lapisan atas. Kesadaran tersebut memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM terlihat dari berbagai deklarasi yang terbentuk setelahnya. Magna Charta (1215) dianggap sebagai dokumen sejarah yang berisi prinsip-prinsip trial by jury (peradilan oleh juri), habeas corpus (surat perintah penahanan), dan pengawasan parlemen atas pajak. Kemudian, Magna Charta dijadikan sebagai momentum bagi lahirnya gagasan-gagasan HAM berikutnya, seperti di Inggris tumbuh gagasan melalui Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Di Perancis, setelah Revolusi Perancis, lahir deklarasi hak-hak asasi manusia dan warga negara (Declaration des Droit de I’home et du Citoyen, 1789). Kemudian, lahirlah deklarasi universal hak asasi manusia tahun 1948 yang disahkan oleh PBB sebagai dasar pemberlakuan HAM di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia meratifikasi sebagai undang-undang negara tentang hak asasi manusia.
Dari latar historis beberapa perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap kebebasn individu di depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina atau tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis tentang struktur deklarasi PBB, serta kesadaran historis tentang peradaban yang melahirkannya, dapatlah diidentifikasi karektaristik utama HAM. Perspektif Barat dalam melihat HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah pusat atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.
Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu penganut ajaran hak asasi manusia ini memiliki penduduk yang mayoritasnya memeluk agama Islam. Islam merupakan ajaran yang dikenal sebagai ajaran yang komperehensif, yang mengatur segala permasalahan di dunia, maupun untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْئٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ
“Dan telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan berita gembira bagi kaum muslimin..”(An Nahl 89).
Maka, tidak ada sesuatu pun kecuali telah dijelaskan dalam ajaran Islam ini, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Hal ini terlihat dari lengkapnya ajaran Islam ini, mulai dari makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, minum dengan disela-sela nafas, tidur/berbaring dengan menghadap ke kanan, larangan meminum minuman yang sangat panas, khitan, pembagian warisan, hingga masalah besar seperti kepemimpinan dan negara. Dan tak terkecuali perkara yang menyangkut hak asasi, kebaikan-kebaikan yang terdapat pada konsep hak asasi manusia yang dilahirkan baru pada abad ke-18 sesungguhnya telah terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah pada belasan abad sebelumnya.
Hak Asasi Manusia Dalam Timbangan Syari’at Islam (II) dan Penyimpangannya
Islam Menjunjung Tinggi Hak Manusia
Salah satu bagian ajaran di antara ajaran-ajaran Islam adalah sikap untuk menjunjung tinggi hak sesama manusia. Salah satu buktinya adalah firman Allah dalam Al-Qur’an :
Oleh karena (kisah pembunuhan anak Nabi Adam) itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.(Al-Maidah :32)
Dari satu ayat ini, kita dapat mengambil faedah-faedah dari ajaran Islam, yakni :
• Kata نفسا dari potongan ayat من قتل نفسا dalam kaidah bahasa arab adalah kalimat nakirah (bebas, tidak tertentu) dalam susunan kalimat syarat, yang bermakna umum, sehingga kata نفسا bermakna : “orang dari golongan manapun”. Dengan demikian, ini merupakan keadilan dalam hukum Islam, tidak membedakan ras, bangsa, status sosial, dan selainnya. Siapa saja yang membunuh manusia, ia akan ditindak tegas.
• Orang yang akan membunuh tanpa dasar yang benar seolah-olah ia membunuh seluruh manusia. Beberapa ahli tafsir menjelaskan kalimat ini bahwa ia mendapat dosa seperti dosa orang yang membunuh semua manusia. Ini merupakan bukti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi hak hidup manusia, sesuai pada kandungan pasal 3 deklarasi PBB tentang HAM.
• Perbuatan membunuh secara umum terlarang dalam Islam, namun terdapat beberapa keadaan seseorang boleh dibunuh. Dan seseorang yang membunuh harus menjaga niatnya untuk tidak membunuh berdasarkan hawa nafsu, agar pembunuhannya tidak termasuk golongan yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti pada cerita sahabat rasulullah yang tidak jadi membunuh musuhnya karena musuhnya telah membuat marah dia dengan meludahinya, sehingga ia takut untuk membunuh musuh tersebut dengan didasari rasa marah, bukan karena Allah.
Penyimpangan HAM dilihat dari kacamata Islam
Dari pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa sebagian konsep hak asasi manusia yang berasal dari filsafat barat bersesuaian dengan ajaran Islam, khususnya pada masalah hak hidup manusia di dunia. Namun, apakah pemikiran HAM versi barat ini, yang juga digunakan di Indonesia, seluruhnya bersesuaian dengan ajaran Islam, yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia? Ketika konsep HAM ini diteliti lebih jauh, didapati banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dari praktik penerapan konsep HAM dari barat yang sekarang diterima oleh dunia internasional ini dengan ajaran Islam. Sebelum kita meneliti lebih jauh saja, dapat diprediksi bahwa konsep-konsep yang dibawa dari filsafat-filsafat barat ini akan bertentangan dengan ajaran Islam, karena perkembangan prinsip hak asasi manusia dilatarbelakangi oleh liberalisme yang lahir dari rasa ingin memerdekakan diri dari ketidakadilan feodalisme pada masa abad ke-17 dan 18. Paham liberalisme secara umum merupakan kebebasan yang berlebihan jika dipandang dari kacamata Islam, karena dalam paham ini lebih bersifat antrhoposentris, ukuran kebenaran suatu perbuatan hanyalah dari apakah perbuatan tersebut merugikan orang lain apakah tidak. Padahal, bisa saja walaupun perbuatan tersebut tidaklah merugikan seorang pun namun perbuatan tersebut terlarang menurut Islam, karena perbuatan tersebut telah melanggar hak-hak Allah, sehingga dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah melarangnya. Di sisi lain, HAM juga merupakan produk pemikiran manusia, yang notabene memiliki kesalahan dan akal yang terbatas akan sangat memungkinkan paham menyelisihi paham yang dibuat oleh Allah yang Maha Sempurna. Terlebih lagi, manusia yang menciptakan konsep ini berasal dari kalangan orang barat, yang sebagian besarnya beragama yahudi dan nasrani. Secara umum, mereka adalah musuh-musuh terbesar kaum muslimin yang selalu berusaha membuat tipu muslihat agar kaum muslimin keluar dari agamanya, atau setidaknya membuat kaum muslimin merasa gerah atau phobi terhadap ajaran agamanya sendiri, sebagaimana firman Allah :
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (Al-Baqarah:120)
Untuk membuktikan kebenaran ini, kita lihat beberapa pemikiran HAM dengan mengambil sebuah pasal dalam deklarasi HAM.
Disebutkan dalam pasal 18 deklarasi universal HAM, ”Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, memiliki keyakinan dan beragama; hak ini meliputi juga hak atas kebebasan berganti agama dan keyakinan, dan hak atas kebebasan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau di dalam kehidupannya sendiri, dalam pengajaran, pengamalan, dengan beribadat serta menjalankan perintah agama dan kepercayaan.
Pemahaman HAM versi barat menyebutkan (dalam pasal ini) disebutkan bahwa seseorang dibebaskan untuk memeluk agama sebebas-bebasnya, termasuk kebebasan berganti agamanya sesuka hatinya. Jika kita lihat hukum-hukum Islam, hal ini sangat melanggar syari’at. Kebebasan beragama bukanlah bagian dari Islam dan Islam tak akan mentoleransi setiap sikap murtad (pindah agama) dari pemeluknya, karena berpindahnya agama seseorang setelah ia memeluk Islam terdapat di dalamnya unsur pembangkangan terhadap syari’at Allah, yang memberi konsekuensi pelakunya tertimpa dosa syirik. Padahal, dosa syirik adalah dosa terbesar di hadapan Allah dalam Islam, melebihi dosa-dosa besar maksiat sekalipun. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisaa: 4)
Dosa selain syirik seperti zina, minum khamr, mencuri, makan riba, ini semua selain dari syirik, dosa-dosa ini di bawah kehendak Allah, pelakunya adalah pelaku dosa besar dan mereka adalah orang-orang fasik, akan tetapi mereka tidak terjatuh dalam perbuatan syirik hanya saja mereka terjatuh dalam dosa-dosa besar dan hal ini mengurangi keimanan mereka dan mereka dihukumi dengan kefasikan. Seandainya mereka mati dan belum bertaubat maka mereka dibawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak maka Allah akan mengampuni mereka dengan tauhid yang ada pada mereka dan jika berkehendak maka Allah akan mengadzab disebabkan dosa-dosa mereka, kemudian tempat kembali mereka adalah jannah (surga) disebabkan tauhid yang ada pada mereka. Ini adalah tempat kembali para pelaku dosa besar selain syirik.
Maka, jika kita mendengar berita-berita kriminal yg mengenaskan, seperti ada seorang gadis cilik yg berulang kali digauli oleh ayah dan kakeknya, bahkan hingga sekian kali gadis tersebut hamil dan melahirkan, ini adalah dosa maksiat yang sangat buruk yang patut diberi tindakan keras bagi pelakunya. Namun, dosa syirik akibat sikap murtad seseorang, di hadapan Allah dosa syirik ini jauh lebih besar dibanding dosa kriminal tersebut, karena sejelek-jelek dosa maksiat, yang dizalimi dalam perbuatan maksiat adalah hak manusia, sedangkan yang dizalimi dalam syirik itu adalah hak Allah. Jadi, apabila perbuatan kriminal saja patut dihukum keras, tentunya pelaku perbuatan syirik perlu dihukum lebih keras lagi, yakni dengan cara memenggal batang leher pelakunya.
Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa orang yang murtad dari Islam bila tidak mau ruju’ (kembali kepada Islam) maka dihukum mati (oleh pemerintahan Islam, bukan individu), sebagaimana pada hadits Ibnu ’Abbas bahwa rasulullah bersabda:
”Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari no.3017) .
Juga dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud, rasulullah bersabda :
”Tidak halal darah seorang muslim kecuali (karena) salah satu dari tiga (perkara) : (membunuh) jiwa dengan jiwa, orang yang sudah menikah berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (HR. At-Tirmidzi no.1402)
Selain itu, hukum bagi yang murtad, dia tidak mewarisi harta karena kekafirannya. Telah sepakat ahlul ilmi (para ulama) bahwa orang yang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim. Mayoritas para sahabat berpendapat bahwa seorang muslim tidak mewariskan kepada seorang yang kafir.
Hak Asasi Manusia Dalam Timbangan Syari’at Islam (III)
Bukankah Rasulullah Pernah Berdamai dengan Orang Kafir?

Di sisi lain, pada hukum Islam (Al-Qur’an dan al-hadits) yang lain juga dijelaskan bahwa rasulullah pernah berdamai dengan orang kafir (non-islam) sehingga tidak mengganggu mereka untuk beribadah, atau ayat tentang larangan mencela sesembahan orang-orang kafir. Dengan demikian, hukum pembunuhan orang kafir yang asalnya halal perlu diperinci berdasarkan situasi dan kondisi tertentu sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang ada. Hal ini juga sebagai bantahan kepada kelompok teroris yang terlalu ekstrim dengan menganggap bolehnya membunuh orang kafir secara mutlak.
Akan tetapi, ini bukanlah berarti bahwa Islam menganggap semua agama adalah sama dan membolehkan seseorang untuk berpindah-pindah agamanya, walaupun dari kacamata barat kebebasan beragama ini tidak mengapa karena tidak merugikan orang lain. Biasanya orang-orang yang menganggap adanya pembolehan hormat-menghormati urusan beragama secara mutlak, mereka berpendapat dengan berdasarkan hadits-hadits tentang sikap damainya rasulullah atau sahabatnya dengan orang kafir, seperti salah satunya adalah pesan khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam: “Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu ikrarkan. Jangan memenggal seseorangpun. Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan perempuan. atau membakar pohon-pohon kurma, dan jangan tebang pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan. Jangan bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali untuk sekedar dimakan. Mungkin sekali kamu akan bertemu dengan orang-orang yang telah mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka dan kegiatan mereka dalam keadaan yang damai.”

Sekilas perkataan Abu Bakar ini membenarkan pemikiran mereka yang telah tercampur pemikiran orientalis. Namun, perlu diketahui bahwa rasulullah dan sahabatnya tidak mengganggu orang-orang musyrik di Madinah waktu itu untuk beribadah, atau perintah untuk bersikap adil oleh khalifah Abu Bakar ini bukan karena dasar mereka menganggap bahwa agama mereka juga benar, karena Islam mengajarkan kepada orang yang beriman untuk bersikap loyal terhadap orang beriman dan menanamkan kebencian kepada orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah :
”Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayaMang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya …” (Al-Mujadilah : 22)
Ayat ini diturunkan ketika kaum muslimin di zaman nabi berperang melawan kaum kafir quraisy, agar mereka tidak ragu-ragu untuk memerangi kaum kafir tersebut, walaupun mereka mendapati musuh-musuh mereka masih memiliki hubungan keluarga mereka sendiri, dan bahkan pemimpin musuh-musuh mereka banyak yang berasal paman-paman rasulullah sendiri.
Lalu, mengapa kaum muslimin juga diperintahkan untuk tidak keras terhadap orang kafir? Walaupun pada dasarnya kaum muslimin diperintahkan untuk membenci orang kafir, rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang kaum muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmi, yakni orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mengizinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban mereka.” (HR. Abu Dawud).
Demikianlah warga negara non-Islam diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak boleh dirampas hartanya atau dibunuh jiwanya dengan dhalim selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara Islam, walaupun kaum muslimin harus meyakini bahwa kedudukan mereka lebih rendah, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu: “Rendahkanlah mereka tapi jangan dhalimi mereka.”

Demikian pula orang-orang non-Muslim yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian damai. Seperti para pendatang dari negara asing yang tidak dalam keadaan berperang (dengan Muslim) atau dalam kata lain terikat perjanjian damai. Maka kaum muslimin tidak boleh mengganggu, apalagi membunuh mereka selama mereka mengikuti peraturan-peraturan negara Islam. Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di negara Islam. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang mengganggu atau mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir mu’ahhad (yaitu terikat perjanjian):“Ketahuilah barang siapa mendhalimi seorang mu’ahad; atau mengurangi hak-haknya; atau membebaninya di luar kemampuannya; atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa keridlaannya. Maka aku akan menjadi penentangnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1 / 807).
Demikianlah sebagian hukum dalam syari’at Islam . Di antara hikmah dari hukum ini adalah memberi kesempatan kepada rakyat non Islam untuk menjalankan agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka akan masuk Islam tanpa paksaan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam menganggap bolehnya kebebasan beragama karena kaum muslimin telah diperintahkan untuk bersikap benci kepada orang yang menentang Allah, sehingga hukum Islam tetap tidak dapat disatukan dengan konsep hak asasi manusia yang telah diakui dunia sekarang ini.
Kesimpulan dan Penutup
Masih banyak lagi gesekan-gesekan yang terjadi antara pemikiran HAM dengan hukum-hukum Islam, misalkan seperti masalah pembagian harta waris menurut hukum Islam yang dinilai tidak adil dalam kacamata HAM karena seorang wanita mendapat separuh jatah dari bagian laki-laki, pembolehan banyaknya aliran-aliran sesat agama seperti Ahmadiyah dan semisalnya dengan atas nama kebebasan beragama, pembolehan atas nama hak asasi manusia untuk orang yang berzina jika didasari suka sama suka, atau seorang wanita yang mendedahkan aurat, tampil dengan penuh percaya diri di media-media iklan, namun ketika sekelompok masyarakat menggugat, maka sanggahannya pun bertameng dengan kebebasan berekspresi dan seni, yang juga termasuk bagian dari hak asasi manusia. Namun, saya cukupkan pembahasan saya mengenai HAM dipandang dari syari’at Islam ini pada masalah kebebasan beragama saja, yang menyangkut di dalamnya berhubungan dengan dasar-dasar hukum Islam yakni akidah. Hal ini dikarenakan selain adanya keterbatasan pengetahuan saya lebih lanjut dalam masalah-masalah lain dan agar tulisan ini tidak terlalu panjang, masalah akidah ini adalah masalah paling krusial yang harus dikuasai oleh setiap muslim, sehingga diharapkan bagi warga negara Indonesia yang mayoritasnya beragama muslim terjaga akidahnya dan tidak tertipu dengan kerancuan-kerancuan HAM ini yang telah dibungkus rapi dengan muka kebaikan ternyata isinya banyak bertentangan dengan ajaran agama Islam yang diyakini oleh mayoritas warga negara Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan HAM ini mungkin lebih bersifat subjektif menurut Islam sendiri dan tidak dilihat dari sisi ajaran lain. Saya tetap membahas dengan satu pandangan saja, dikarenakan kebanyakan warga Indonesia beragama muslim jadi sekiranya pembahasan ini lebih bermanfaat jika juga dapat dijadikan sebagai bekal ilmu agama dan menambah keimanan bagi kaum muslimin. Jika warga negara Indonesia muslim telah seluruhnya menguasai ajaran agamanya, tentunya akan memberikan pengaruh positif yang besar bagi negara ini, dan bagi warga negara non-muslim pun juga akan mendapatkan pengaruh positif tersebut, sebagaimana dulu orang-orang non-muslim yang tinggal satu negeri bersama nabi Muhammad, mereka merasa aman dan tidak dizalimi.
Konsep HAM versi barat bersifat antroposentris, sehingga ukuran pokok kebenaran suatu perbuatan hanya didasari oleh hati nurani seseorang, atau juga dipandang dari apakah perbuatan tersebut merugikan orang lain atau tidak. Sedangkan hukum Islam lebih bersifat theosentris, yakni segala perbuatan didasari dengan wahyu Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, sebagai al-bayan (penjelasan) dan al-furqon (pembeda yang benar dan salah) bagi manusia. Maka, bisa saja suatu perbuatan walaupun tidak dianggap suatu kejelekan bagi hati nurani manusia, atau perbuatan tersebut tidak mengandung unsur merugikan bagi orang lain, ternyata perbuatan tersebut diharamkan bagi Islam. Dan sebaliknya, bisa saja suatu perbuatan tidak dianggap baik oleh mayoritas manusia akan tetapi hukum Islam membolehkannya. Sebagai contoh, telah dikenal bahwa hukum di antara hukum-hukum Islam menjelaskan diwajibkannya jihad fii sabilillah dengan cara berperang, padahal secara tabiat manusia, berperang adalah sesuatu yang dibenci, sebagaimana perkataan Allah :
”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah : 216)
Kemudian, jika kaum muslimin memperoleh kemenangan dalam peperangannya, terdapat hukum yang menjelaskan disyari’atkannya untuk melakukan pembagian harta rampasan perang, termasuk di dalamnya pembagian jatah budak yang berasal orang-orang sipil tawanan perang. Jika budak tersebut adalah wanita, maka pemiliknya dihalalkan untuk mencampurinya, sebagaimana firman Allah :
”Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Q.S : Al-Mu’minun : 6)
Walaupun memang orang yang membebaskan budak akan mendapat pahala dalam Islam, hukum perbudakan (dari hasil kemenangan perang) ini tidak hanya berlaku ketika zaman rasulullah dan sahabatnya berperang saja, namun berlaku sepanjang zaman hingga hari kiamat. Namun, sebagian besar orang, bahkan dari kaum muslimin sendiri, menafikan hukum ini dan menentang adanya perbudakan. Mereka menganggap bahwa perbudakan telah dihapus dan tidak ada lagi yang namanya perbudakan, karena perbudakan ini dianggap tidak manusiawi. Apakah yang dimaksud perbuatan manusiawi? Jika yang mereka maksud adalah perbuatan yang sesuai dengan hati nurani manusia, tentunya ukuran ’manusiawi’ ini akan menjadi rancu, karena kemurnian hati nurani manusia berbeda-beda, ada yang masih bersih dan ada yang sudah kotor. Bagaimana jika yang dimaksud ’berdasarkan hati nurani’ ini adalah bukan anggapan individu, melainkan anggapan kebanyakan manusia? Ini pun juga dapat menimbulkan kerancuan, karena kebanyakan manusia berada dalam kesesatan, berdasarkan ayat Al-Qur’an :
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Q.S Al-An’am : 116)
Maka, jika ukuran manusiawi suatu perbuatan didasari oleh mayoritas manusia yang hati nuraninya kebanyakan telah kotor, yang terjadi adalah kebenaran akan dianggap sebagai kebatilan, sebaliknya kebatilan akan dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan manusiawi. Hal ini benar-benar terjadi di zaman ini, kita lihat kabar-kabar di mancanegara, beberapa negara telah membuat undang-undang untuk melindungi kaum homoseksual atas nama perlindungan HAM, karena kaum homo di sana sudah mulai menjadi kaum mayoritas sehingga perbuatan homoseksual dianggap sebagai hal yang ’manusiawi’. Di Indonesia sendiri pun juga sudah ada kaum homo yang mulai berdemonstrasi di beberapa daerah memperjuangkan aspirasinya agar dilindungi dan tidak dikucilkan dari masyarakat. Perbuatan-perbuatan lain yang dianggap aneh oleh masyarakat namun dibolehkan Islam juga banyak terjadi di Indonesia walaupun mayoritas penduduknya muslim, seperti penganggapan aneh/sinis kepada orang yang berpoligami, penganggapan aneh bahkan pelarangan bagi orang yang berjenggot panjang atau berjilbab bagi wanita yang bekerja di suatu perusahaan, dan lain-lain.
Sebagai penutup, saya mencoba memberikan solusi bagi kerancuan permasalahan HAM saat ini, yakni janganlah kaum muslimin di Indonesia memahami hak-hak dasar manusia berdasarkan ajaran barat, akan tetapi dari ajaran Islam yg murni. Memang, di era globalisasi ini, orang yang akan berpegang teguh dengan agama Islam ini akan mengalami cobaan yang sangat berat. Banyak mayoritas orang telah menganggap bahwa hukum-hukum Islam perlu direvisi ulang agar sesuai dengan perkembangan zaman, bukan perkembangan zaman harus disesuaikan dengan hukum Islam, atau juga bagi yang berpegang kuat dengan agama ini akan ditempeli banyak gelar negatif oleh banyak orang, seperti ’ekstrim’, ’kolot’, ’tidak sesuai dengan perkembangan barat’, dan semisalnya. Memang, telah dikabarkan oleh Rasulullah, memegang sunnah pada akhir zaman akan terasa sangat sulit seperti memegang bara api karena orang tersebut akan terlihat aneh mengingat banyaknya manusia telah meremehkan agama. Dan juga beliau juga mengabarkan bahwa Islam akan mulai dengan keterasingan dan berakhir dengan keterasingan pula, berdasarkan sabda-sabda beliau :
”Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian”. (HR. Tirmidzi)“Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula.Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’).” (H.R Muslim)
“Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk.Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka”(H.R Ahmad)
Tapi hal ini tidaklah mengapa dan bukan penghalang yang sulit bagi orang yang benar-benar bertaqwa, karena Allah yang Maha Mengetahui hal-hal yang terjadi di masa depan akan memberikan pahala yang berlipat bagi yang berpegang teguh dengan Islam, dan Islam juga telah menjelaskan bahwa berpegang dengan ajaran rasulullah merupakan kewajiban bagi umat Islam dan solusi memecahkan berbagai permasalahan yang ada di akhir zaman, sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah :
”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S Al-Baqarah : 206)
Dari Al-’Irbadh bin Sariyah –radhiyallahu ’anhu- ia berkata : ”Rasulullah –shollallahu ’alaihi wasallam- memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang mengena, hati menjadi gemetar dan mata pun berlinang air mata karenanya, maka kami katakan : ’Wahai Rasulullah, seolah-olah ini nasihat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan : ’Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah (perkara baru dalam agama) itu sesat.” (HR. Ahmad, disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no, 2549 )
Demikian Nabi mewasiatkan kepada para sahabat beberapa wasiat penting. Di antaranya adalah perintah untuk berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa sahabat saja Rasulullah telah berwasiat demikian. Lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di mana kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk.
Dan Allah juga telah menjanjikan kejayaan bagi kaum yang berpegang teguh dengan Islam, dalam firman-Nya :”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S An-Nur : 55)
Allah adalah Sang Maha Menepati janji. Maka, jika melihat kondisi kaum muslimin yang terpuruk saat ini, jangan salahkan Allah karena belum menepati janji-Nya, namun salahkan kita, karena janji Allah tersebut belum terpenuhi syaratnya, yakni masih banyak kaum muslimin belum yang belum mempelajari dan mengamalkan agama ini secara menyeluruh.
Dan untuk berpegang teguh dengan Islam, tentunya kaum muslimin harus mempelajari dan memahami ilmu-ilmu agama yang sangat luas, sehingga menuntut ilmu agama hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin. Kemudian, orang-orang yang telah meluruskan niatnya untuk mempelajari ilmu agama ini pun juga harus mengambil ilmu dari orang yang terpercaya dan berhati-hati agar tidak ekstrim dalam beragama, disebabkan mereka mengambil ilmu dari orang-orang yang tidak berpemahaman Islam seperti pemahaman salafush saleh (orang-orang Islam terdahulu), yakni pemahaman seperti rasulullah sendiri, sahabat, dan golongan setelahnya. Maka, bagi penuntut ilmu wajib mengetahui keadaan gurunya, apakah ia berpemahaman salaf atau tidak, mengingat sekarang banyak kaum muslimin telah meninggalkan pemahaman salaf ini, karena menganggap pemahaman Islam dulu harus direvisi untuk menyesuaikan keadaan zaman sekarang, padahal para salafus shalih dan para pengikut pemahamannya ini telah dipuji oleh Allah yang Maha mengetahui segala perkembangan zaman, dalam firman-Nya :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S At-Taubah : 100)
Bagaimana dengan warga non-Islam? Saya rasa jika mayoritas warga negara Indonesia yang beragama Islam telah melaksanakan ajaran Islam secara benar, janji Allah berupa kejayaan akan datang dan warga non-Islam pun akan merasakan pengaruh positifnya pula, karena pada dasarnya Islam adalah pembawa rahmat bagi seluruh alam, termasuk kehidupan orang non-muslim di dunia. Hal ini telah terbukti di zaman nabi Muhammad dahulu, ketika kaum muslimin telah beragama secara benar dan menyeluruh, mereka mendapat kejayaan dan ditinggikan derajatnya oleh Allah, dan kaum non-islam yang tinggal bersama nabi –shollallahu ‘alaihi wassallam- pun juga merasakan amannya tinggal di negeri yang kaum musliminnya telah beragama secara benar. Wallahu a’lam bish-shawab, semoga Allah selalu memberikan taufiq dan hidayah bagi kita semua.
REFERENSI
Al-Qur’an Al-Karim.
Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz. 2006. Bantahan terhadap orang yang menganggap bahwa hukum-hukum syari’at Islam tidak sesuai lagi dengan keadaan/perkembangan jaman sekarang. http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=314
Abu Hamzah Yusuf. 2005. Membongkar pemikiran sang begawan teroris (I). http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=878
As-Sewed, Muhammad Umar. 2003. Islam Sebagai Rahmat Untuk Seluruh Alam. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=54
As-Sewed, Muhammad Umar. 2004. Kaidah penerapan Sunnah : Tegakkan Sunnah setiap masa. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=740
Elviandri. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam : Kajian Konsep dan Historisitas. http://eprints.ums.ac.id/280/
Kelsay, John dan Summer B. Twiss. Agama dan Hak Asasi Manusia.
Prasetyo, Teguh (2007) HAK ASASI MANUSIA DALAM TRADISI ISLAM. Jurnal Ilmu Hukum, Vol.10 (No.1). pp. 46-54. ISSN 1410-7880
Suaidi, Qomar. 2003. Menghidupkan Sunnah yang Kian Terasing. Yogyakarta : Oase Media.
Syafruddin, Abulfaruq Ayip. 2008. Apa itu Hak Asasi Manusia (HAM) ? (majalah Asy-Syari’ah no.42/IV/1429H/2008) . Yogyakarta : Oase Media.
Syafruddin, Abulfaruq Ayip. 2008. Atas Nama Kebebasan. Yogyakarta : Oase Media.
Syafruddin, Abulfaruq Ayip. 2008. Kampanye Memalingkan Umat dari Islam. Yogyakarta : Oase Media.
Yusup, Deni K. 2008. Hukum Islam dan HAM. http://dkyusup.blogspot.com/2008/04/hukum-islam-dan-hak-azasi-manusia.html