MENIMBANG IDE KESETARAAN GENDER

Ditulis Oleh Henri Shalahuddin
Derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan feminisme di Barat menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin deras pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme akhirnya menjadi global theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%. (Ninuk Mardiana, Kompas, 16/4/07)

Feminisme seperti dijelaskan Wikipedia, sebenarnya adalah paham yang dimotivasi dan memfokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya tentang ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, isu KDRT, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave) yakni hak meninggalkan pengasuhan anak dan sterilisasi kandungan, kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment) dan diskriminasi. Sedangkan pengertian paham kesetaraan jender, seperti tertulis Women's Studies Encyclopedia adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (vol.I, h.153)
Dalam perkembangannya, gerakan feminisme telah merambah kedalam ranah studi Islam. Bahkan kampanye menuntut keadilan dan peran sosial yang lebih luas bagi wanita seringkali mengabaikan ajaran agama. Isu-isu kesetaraan hak waris, hak menjadi imam shalat dan azan, penyamaan batasan aurat dan pakaian ihram, aqiqah, kesaksian, air kencing bayi, kepemimpinan dalam negara dan rumah tangga, isu-isu perkawinan termasuk masalah kewalian, mahar, hak talak, masa 'iddah, poligami, nikah dengan lelaki non muslim, dan pembolehan lesbian, dst, kerap disuarakan untuk menuntut kesetaraan derajat perempuan terhadap laki-laki.

Pangkal masalah
Feminisme dalam batasan tertentu lebih menyerupai teologi kemarahan. Gugatan feminisme sebenarnya berawal dari kerancuan pandangan Barat dalam memaknai keadilan, rasional dan HAM. Dalam The New Oxford Dictionary of English dijelaskan bahwa tindakan yang adil berarti kualitas yang adil dan rasional (the quality of being fair and reasonable). Sedangkan rasional di kamus ini diartikan sebagai tindakan atau pertimbangan yang dasarnya sejalan dengan akal atau logika. Namun anehnya, penggunaan contoh kata rasional dalam kalimat, ternyata sikap rasional selalu dinisbahkan pada kaum laki-laki. She's not being very rational; Man is a rational being.
Dalam masyarakat Barat terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang penyebab utama dalam merendahkan wanita. Pada tahun 1837, Sarah Grimke menyatakan bahwa penafsiran biblis secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka. Maka pada tahun 1895, dipublikasikanlah Woman's Bible.
Penyelidikan terhadap peran negatif Alkitab ini, seperti dijelaskan oleh Michael Keene, dipusatkan pada 5 bidang, di antaranya membuat penafsiran alternatif atas teks-teks biblis yang menindas perempuan, seperti teks Alkitab yang mengharuskan perempuan tutup mulut di gereja (1Korintus 14:34-35). Dan menyertakan perempuan dalam konsep ketuhanan. (M. Keene, 2006: 146-147)
Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of The Bible menjelaskan 3 metode tafsir feminis terhadap Alkitab, yaitu: a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas perempuan. b) Menyelidiki Kitab Suci secara umum untuk menemukan perspektif teologis yang mengkritik patriarki. c) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan modern yang hidup dalam kebudayaan patriarkal. (Kanisius, Yogyakarta, 2003: 86-90)
Ringkasnya, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks biblis, di antaranya I Timotius 2:12-14, Kejadian 3:16, I Korintus 14:34-35, Wahyu 17:5-6, Efesus 5:22-23, Hosea 3:1. Maka mereka pun menolak untuk terus-menerus membaca teks-teks kitab suci dan tradisi patriarkal kuno yang sudah mapan, seperti dijelaskan Nicola Slee, teolog feminis Inggris. (M. Keene, 2006: 46). Buku Feminist Approaches to the Bible menjelaskan: "The Bible was born and bred in a land of patriarchy; it abounds in male imagery and language". (h.7) Di bagian lain juga dinyatakan: "In Western culture, the Bible has provided the single most important sustaining rationale for the oppression of women". (h.47)
Umat Islam memiliki tradisi dan khazanah keilmuan yang berbeda dengan Barat. Menerapkan framework feminisme Barat dalam studi Islam ibarat keledai yang membawa sekarung kerang dan merendamnya di sungai. Dia mengira hal itu akan mengurangi bebannya seperti yang dilakukan keledai lain yang membawa sekarung garam.